Dear sayangku, suamiku. Aku menulis surat cinta ini agar engkau paham
dan tahu seperti apa aku yang sebenarnya.
Masih ingatkah engkau masa-masa indah yang kita lewati bersama dulu?
Saat itu, engkau melamarku dengan sebuah kalimat yang tidak kumengerti
maknanya. Ya, engkau mengucapkan kalimat ajaib yang sulit dicerna.
"Jadilah angin, yang selalu menemani arah awan."
Terus terang saja, aku tak paham dengan kalimat itu, sayangku. Engkau
tahu, aku selalu lemah tanggap dengan kalimat yang sedikit 'nyastra', tapi
engkau selalu saja memberikan kalimat-kalimat seperti itu.
Menjalin kisah percintaan yang baru seumur jagung, dua bulan tepatnya,
kabar gembira itu datang. Aku hamil, anak kita, sayangku. Aku masih ingat
betapa bahagianya engkau kala itu. menggendongku seraya berputar-putar di
kamar. Ah, engkau bahagia dan tak sabar ingin dipanggil ayah rupanya. Begitu
pun aku. Aku juga tak sabar dipanggil dengan sebutan ibu, sayangku.
Sembilan bulan lebih dua hari, anak kita lahir sayangku. Engkau menangis
di sisiku, mengadzani bayi kita. Aku masih ingat, engkau menciumi bayi kita
berulang kali. Hingga aku sedikit kesal dan menggerutu. Kau tahu sayangku, aku
terlalu khawatir dengan bayi kita. Maafkan aku.
Empat tahun berlalu, bayi kita kini telah menjadi gadis mungil yang
cerdas. Banyak hal yang berhasil ia lakukan untuk membuat hari-hari kita
menjadi lebih bahagia. Dan, itu menyenangkan, bukan, sayangku?
Sembilan tahun berlalu, usia pernikahan kita telah berumur sepuluh tahun
lebih beberapa bulan. Gadis mungil kita telah memiliki adik laki-laki yang tak
kalah lucu dan menggemaskan. Kau tahu, sayangku, aku benar-benar menikmati
peranku sebagai ibu rumah tangga. Membesarkan anak kita dengan sepenuh hati dan
waktuku. Ditambah dengan kehadiranmu sebagai suami yang membanggakan. Aku
bersyukur atas itu semua, sayangku.
Sayangku, yang perlu kau tahu, aku bukanlah wanita sempurna. Masih
banyak kekurangan yang sering kulakukan di hadapanmu dan anak-anak kita. Yang
ingin kusampaikan, ajarkan aku untuk menyempurnakan ketidaksempurnaan itu.
Denganmu tentunya. Karena aku tahu, sayangku, bukan aku atau engkau yang
sempurna. Tapi kitalah yang membuat pernikahan menjadi sempurna. Kita, dengan
anak-anak kita.
Tetaplah bersamaku, sayangku, aku akan menemanimu dalam cobaan yang
menghambat pernikahan kita. Akan kugelar permadani untukmu ketika engkau ingin
menceritakan kisah pahit dan sedihmu dalam pekerjaan. Ingatlah sayangku, kita
ada maka sempurnalah diri kita.
Jangan pernah takut menghadapi masa depan, sayangku, karena aku ada
untukmu. Begitu sebaliknya. Kita, bersama anak-anak akan selalu bisa menghadapi
cobaan yang ada. Kesabaran dan saling mendukung itu perlu, sayangku. Sekian
surat dariku. Semoga Tuhan melimpahkan rahmat dan keselamatan padamu selalu.
Dariku, wanita yang tak sempurna, istrimu.
0 komentar:
Posting Komentar