Satu kisah berikut semoga menginspirasi kehidupan sehari-hari kita agar
dapat lebih menjaga lisan dalam keseharian. Sebuah kisah yang dituturkan
sahabat DD dalam email, yang mengisahkan tentang ibu tirinya. Berikut kisahnya.
---
Aku seorang ibu berumur 25 tahun. Sehari-harinya aku bekerja di sebuah
perusahaan swasta, meninggalkan anak satu-satunya yang sengaja kutitipkan pada
nenekku. Jauh sebelum aku menikah, dulunya aku tinggal bersama ayah dan ibu
tiriku. Maklum, ibu kandungku meninggal sejak aku masih kecil.
Ibu tiri banyak dikenal dengan sebutan ibu yang jahat. Dan, itu memang
benar terjadi. Selama tinggal bersama ibu tiriku, aku dan adikku selalu
dijahati. Meski begitu, aku selalu menyabar-nyabarkan perasaan, tak ingin
melukai hatinya. Toh, bagaimanapun dia yang merawat ayahku, menggantikan peran
ibu kandungku.
---
Menjadi jahat mungkin bukan keinginan banyak orang, tetapi watak. Itulah
watak yang tergambar dari wajah ibu tiriku. Selama hidupnya, dia selalu saja
menyatakan hal-hal yang tidak pantas dibicarakan di muka umum. Yang
menceritakan kehidupan rumah tanggalah, yang bilang tak dinafkahilah, semuanya
diceritakan pada tetangga. Padahal, aku tahu pasti bahwa apa yang diceritakan
adalah kebohongan semata.
Aku paham betul setiap bulannya ayahku menafkahinya dan anak-anaknya.
Tetapi, masa iya begitu balasannya? Sungguh tak tahu diuntung.
---
Tahun 2011 lalu ayahku meninggal dunia. Seluruh harta warisan dan uang
duka tak satupun ada di tanganku dan adikku. Semuanya beralih ke tangan ibu
tiriku.
Seperti biasa, dia berbohong dengan mengatakan bahwa uang warisan,
pensiunan, dan uang duka ayah tak tersisa. Padahal, aku yakin sekali bahwa
seluruh uang dan harta milik ayah dia yang menguasai. Tapi, biarlah, untuk apa
memperebutkan harta ayahku kalau aku dan suami sudah berpenghasilan sendiri.
Meski tak banyak, aku yakin itu jauh lebih berkah dibandingkan dengan berbagi
harta dengan ibu tiri jahat itu.
---
Selepas menikah, aku dan suami memutuskan untuk menempati rumah sendiri
dari hasil kerja keras kami berdua semasa pacaran dulu. Ini semata-mata aku tak
betah tinggal serumah dengan ibu tiriku. Jadilah aku pindah rumah.
Lama tak mendengar kabar ibu tiriku, beberapa minggu lalu aku mendapat
informasi dari tanteku tentang ibu tiriku. Kabarnya, dia baru saja umroh dengan
membawa tubuh yang tidak biasa.
Kukatakan tidak biasa karena dari tanah suci bukannya dia berubah
menjadi alim, tetapi satu keanehan terjadi padanya. Tubuhnya melebar, menjadi
sangat gembrot dengan mulut yang berantakan. Banyak tetangga bilang bahwa itu
adalah balasan selama jahat dengan siapa saja dan suka mengumbar perkataan yang
tidak sebenarnya.
Dan, yang lebih mengejutkan adalah dia tak bisa berjalan dengan gula
darah yang sangat tinggi, yakni 600. Bisa dibayangkan, gula darah sebegitu
tinggi dia tak juga meninggal. Ya, aku tahu terlalu kasar menyebutnya demikian.
Tetapi, kalian tak tahu seberapa sakitnya hatiku dan adikku selama tinggal bersamanya.
Bukan kasih sayang yang kudapat, malah cacian. Janji selalu menafkahi aku dan
anakku pun hanya kabar angin.
Kini, ibu tiriku terbaring lemah di kamarnya dirawat oleh anak-anaknya.
Meski dulunya tak bisa berjalan, ada satu perkembangan yang dikabarkan oleh
tanteku, yakni dia sedikit sekali bisa berjalan.
Yang membuatku sadar akan kebesaran Tuhan adalah sebegitu jahatnya ibu
tiriku padaku tetapi Tuhan tak juga memberinya batas umur saat itu juga.
Mungkin, Tuhan memberinya waktu untuk bertaubat sebelum ajal benar-benar
menjemputnya.
---
Sejahat-jahatnya orang pada sesamanya, tetapi jika Tuhan memberi
kesempatan agar bertaubat sebelum ajal menjemput, kadang tak diindahkan maksud
Tuhan yang demikian. Manusia, terlalu egois dengan segala kepentingan di dunia,
hingga tak sadar akan kasih sayang Tuhan yang mahabesar.
---
Semoga kisah tersebut menjadi contoh bagi kita agar lebih berhati-hati
dalam segala tindakan dan ucapan. Ingatlah, Tuhan tidak bercanda. Ia hanya
ingin makhluk-Nya peduli terhadap sesama dan patuh terhadap perintah-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar