Sabtu, 01 September 2012

Inilah Orang yang Menyumbang Sebagian Emas di Puncak Monas


Inilah Orang yang Menyumbang Sebagian Emas di Puncak Monas





Ternyata 38 kg emas yang dipajang di puncak tugu Monumen Nasional
(Monas) Jakarta, 28 kg di antaranya adalah sumbangan dari salah seorang
saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya Indonesia, Teuku Markam.





Orang-orang hanya tahu bahwa emas tersebut memang benar sumbangan
saudagar Aceh. Namun tak banyak yang tahu, bahwa Teuku Markam-lah saudagar yang
dimaksud itu.





Itu baru segelintir sumbangan Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini.
Sumbangsih lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat
olah raga terbesar Indonesia.





Tentu saja banyak bantuan-bantuan Teuku Markam lainnya yang pantas
dicatat dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga
menempatkan Markam dalam sebuah legenda.





Inilah Orang yang Menyumbang Sebagian Emas di Puncak Monas





Di zaman Orba, karyanya yang terbilang monumental adalah pembangunan
infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon,
Meulaboh, Tapaktuan dan lain-lain adalah karya lain dari Teuku Markam yang
didanai oleh Bank Dunia.





Mengingat peran yang begitu besar dalam percaturan bisnis dan
perekonomian Indonesia, Teuku Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota
kabinet bayangan pemerintahan Soekarno. Peran Markam menjadi runtuh seiring
dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto.





Ia ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta
kekayaannya diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit
sekeluar dari penjara, tapi tidak sempat bertahan lama.





Tahun 1985 ia meninggal dunia. Aktivitas bisnisnya ditekan
habis-habisan. Ahli warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita
depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak
pernah direhabilitir.





Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan
memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris
Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.








Mengenal Lebih Dekat Sosok Teuku Markam








Inilah Orang yang Menyumbang Sebagian Emas di Puncak Monas
Teuku Markam








Teuku Markam turunan uleebalang. Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku
Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak
kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu.





Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya
telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak
Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat).





Teuku Markam tumbuh lalu menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib
militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan
satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut
pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral Bejo,
Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain.





Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai
lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon
dengan pasukan Manaf Lubis.





Sebagai prajurit penghubung, Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima
Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan,
Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot
Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.





Adalah Gatot Soebroto pula yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu
dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya
pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menangani masalah perekonomian
Indonesia.





Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276), ia
kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah
(Panglima Kodam Iskandar Muda) karena "disiriki" oleh orang lain.





Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentangan
dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.





Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT
Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola rampasan perang
untuk dijadikan dana revolusi.





Selanjutnya Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan
sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta,
Makassar, Surabaya.





Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor -
impor dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari
Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas
persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.





Komitmen Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk
pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot
habis-habisan oleh Soekarno.





Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta
mengumpulkan sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional
(Monas). Sebagaimana kita tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu impian
Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.





Peran Teuku Markam menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia
Afrika tidak kecil berkat bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.





Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal
dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU
Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil
Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain.





Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer.
Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno.





Sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam
membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata
pemerintahan Orba. Ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan
Soekarnoisme.





Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada
tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan.





Pertama-tama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke
Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba, Jl. Percetakan Negara. Lalu
dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya,
tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia
jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua
tahun.





Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam
menjadi sulit dan prihatin. Ia baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat
jasa-jasa baik dari sejumlah teman setianya.





Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada kompensasi apapun dari
pemerintahan Orba. "Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan
menuntut hak-haknya. Tapi waktu itu ia kan tertindas dan teraniaya," kata
Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.





Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966
mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang
kemudian dikelola PT. PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas
nama pemerintahan RI.





Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini
adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman-teman Markam. Namun tidak banyak
menolong mengembalikan asset PT Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset
tersebut di bawah bendera PT PP Berdikari.





Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin perusahaan tersebut.
Dijajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami.
Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Drs Ahman Nurhani,
dan Bustanil Arifin SH.





Pada tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang
isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT
Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus
"pinjaman" yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal
negara di PT. PP Berdikari. Kepres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya
Teuku Markam dari tahanan.





Proyek Bank Dunia






Sekeluar dari penjara, tahun 1974, Teuku Markam mendirikan PT. Marjaya
dan menggarap proyek-prorek Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh
dan Jawa Barat. Tapi tidak satupun dari proyek-proyek raksasa yang dikerjakan
PT Marjaya baik di Aceh maupun di Jawa Barat, mau diresmikan oleh pemerintahan
Soeharto.





Proyek PT Marjaya di Aceh antara lain pembangunan Jalan Bireuen -
Takengon, Aceh Barat, Aceh Selatan, Medan-Banda Aceh, PT PIM dan lain-lain.





Teuku Syauki menduga, Rezim Orba sangat takut apabila Teuku Markam
kembali bangkit. Untuk itulah, kata Teuku Syauki, proyek-proyek Markam
"dianggap" angin lalu.





Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat komplikasi berbagai penyakit di
Jakarta. Sampai akhir hayatnya, pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya.
Bahkan sampai sekarang.

ads

Ditulis Oleh : OKE Hari: 18.00 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar